0

Asuransi atau Investasi untuk Pendidikan Anak? 

Menyambung tulisan kemarin terus terang masih belum mempunyai bayangan jelas bagaimana kondisi pendidikan Indonesia beberapa tahun kedepan. Antara skeptis, pesimis dan… ah entahlah. Gimana engga, ganti menteri ganti kebijakan. Anak sekolahan jadi bulan-bulanan obyek kebijakan. Udah gitu komersialisasi pendidikan makin edan – edanan, menyadari ada ortu yang rela bayar mahal demi embel-embel terbaik. Pengennya Anya besok sekolah di luar negeri (abroad loh ya, bukan luar negeri=swasta) aja lah, yang kurikulumnya udah stabil dan kebijakan pendidikannya memanusiakan anak. 

Pernah baca di mana gitu, tingkat inflasi pendidikan di Indonesia cukup tinggi, bisa 20% tiap tahun. Gile kan? Makin lama ga manusiawi deh, dijadiin sapi perah. Kalau sekadar mengandalkan tabungan jelas syusyeh mengejar inflasi gila-gilaan. Investasi adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Nah tapi investasi macam apa ya? Apalagi banyak banget produk investasi yang ada sekarang ini. Banyak juga yang masih bingung beda asuransi dan investasi. 

Berikut adalah penjelasannya: fungsi investasi adalah membantu untuk mencicil dalam jumlah kecil dan mengharapkan hasil keuntungan yang tinggi. Sehingga, dalam 10 hingga 15 tahun kedepan, saldonya terkumpul sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan, asuransi jiwa, berfungsi untuk melindungi keluarga, jika dalam perjalanan melakukan cicilan investasi, tiba-tiba terjadi kematian atas pencari nafkah utama maka penghasilan yang biasa diberikan kedalam rumah tangga dapat digantikan oleh dana tunai dari uang pertanggungan polis asuransi jiwa.

Nah kalau asuransi pendidikan bagaimana? 

Asuransi pendidikan akan memberikan manfaat proteksi, yaitu perlindungan kepada pemegang polis hingga berusia 99 tahun (tergantung jenis produk asuransi jiwa). Sehingga, jika anak belum selesai bersekolah hingga sarjana dan terjadi risiko kematian pada orang tua, maka anak akan tetap memiliki dana untuk meneruskan pendidikannya. Sedangkan bonus manfaat investasi dari sebuah asuransi pendidikan akan diperoleh jika porsi tabungan atau dana investasi yang dikumpulkan terus berkembang dan memberikan hasil yang positif. Pahamilah bahwa investasi pasti mengandung risiko, jadi tidak seperti produk tabungan, nilai investasi tidak dijamin oleh perusahaan asuransi jiwa. Hasil keuntungan bisa jadi sesuai harapan, atau diatas harapan, atau dibawah harapan.
Nah kalau pengen tahu seberapa duit yang harus disiapkan untuk pendidikan anak di masa mendatang, coba kalkulator simulasi ini: http://www.bekalmasadepan.com/articles/mempersiapkan-masa-depan-pendidikan-anak

Sudah dicoba? Udah pusing? Udah punya solusi? 😁😁😁

Daripada pusing, coba buibu ikutan Bekal Masa Depan Chil-Go! Bekal Masa Depan Chil-Go! merupakan salah satu langkah Morinaga dalam mendukung gerakan #SiapCerdaskanBangsa yang ditujukan kepada para orang tua untuk dapat berbagi stimulasi dan ide kreatif dalam mengembangkan Kecerdasan Majemuk Si Kecil. 

Hadiahnya oke banget lho! Asuransi pendidikan senilai 500 juta! Wow banget kan! 

Nah sembari menyiapkan ide, ada beberapa tips dari Prita Hapsari Ghozie, perencana keuangan independen dari ZAP Finance:

1. Ortu sebaiknya sudah harus mulai mendiskusikan pendidikan anak sejak sang anak masih dalam kandungan. Lakukan survei dengan mendatangi sekolah-sekolah yang ada atau datang ke pameran pendidikan yang mulai banyak diselenggarakan.

Nah menurut pengalaman pribadi, langkah awal ini cukup susah, susah-susah gampang. Karena suami dan istri harus menyamakan visi misi dulu terhadap anak. Ini lho susahnya, suwer! Seringkali suami dan istri punya perbedaan pandangan dan mimpi terhadap anak. Untuk menyamakan persepsi ini butuh kerja keras komunikasi intens. Nih buktinya, yang nulis. Perlu waktu berkali-kali, berbulan-bulan, dan belum cukup mulus nih, hiks. 

2. Berdasarkan pilihan favorit orang tua dan anak, lakukan riset kebutuhan biaya pendidikan untuk tahun ini. Pahami bahwa biaya pendidikan tahun ini kemungkinan besar akan meningkat setiap tahunnya, sehingga saat anak masuk sekolah nilainya akan bertambah besar. 
3. Sesuai kebutuhan dana yang sudah dihitung, silakan periksa tabungan atau investasi yang sudah disiapkan. Apakah sudah cukup? Jika angkanya masih lebih kecil dari yang seharusnya, jujurlah pada diri sendiri bahwa sekaranglah saatnya merevisi rencana dana pendidikan.
4. Periksa apakah keuangan keluarga sudah terlindungi. Menabung dan berinvestasi akan terasa mudah dijalankan oleh keluarga yang masih produktif dan mendapatkan penghasilan. Risiko kematian di usia produktif atas pencari nafkah atau orang tua dapat terjadi kapan saja. Oleh sebab itu, perlindungan asuransi jiwa sangat penting dalam perencanaan dana pendidikan.
Semoga tips tadi cukup membantu memberi panduan dalam merencanakan pendidikan ya, karena sesungguhnya berkeluarga itu ga bisa go show. Serem tau liat angka-angkanya. Sesungguhnya perencanaan yang baik mengurangi kecemasan yang ditimbulkan oleh deretan angka tersebut dan semoga mimpi kita yang terbaik untuk anak tercapai, AMIN! 

0

Barang-barang Bayi Yang Tidak Terpakai Diapain? Disimpan atau Disumbangkan?

Suka dukanya punya rumah mungil dengan bayi yang terus bertumbuh itu salah satunya adalah tidak bisa berlama-lama menyimpan barang-barangnya Anya sedari bayi.
Kalau ngobrol sesama emak-emak tentang barang-barang anak kita, kebanyakan ternyata disimpan di container plastik lalu simpen di gudang. Kebanyakan alasannya adalah siapa tahu nanti punya adik, barang si kakak bisa dipakai lagi.

Yang rumahnya besar sih enak ga usah pusing mikir storage. Walau kelihatannya kecil-kecil tapi ternyata menuh-menuhin banget lho. PR banget untuk yang rumahnya mungil, bisa sumpek rumah karena baju-baju bayi dan mainan-mainan yang udah ga kepake lagi. Kalau kalian bagaimana sih mengakali barang-barang si bayi yang ga kepake? Apalagi kalau seringnya beliin baju-baju dan mainan yang ga bisa dibilang murah. Barang-barang bayi kan cuma kepake beberapa bulan doang, paling banter setahun deh.

Nah kebetulan binggo nih, iseng-iseng kok nemu program Morinaga yang oke banget. Jadi nih Morinaga bikin kampanye #SiapCerdaskanBangsa untuk mengingatkan orang tua pentingnya stimulasi anak di 1000 hari pertama (sekitar 3 tahun) bagi perkembangan kecerdasannya. Morinaga menyadari betul bahwa tidak semua orang tua memiliki akses untuk memberikan stimulasi dini terhadap anaknya, entah karena kurang pengetahuan hingga minimnya alat-alat yang dapat memberikan stimulasi (mainan edukatif dan buku-buku bagus). Karena itu Morinaga mengajak kita semua untuk membantu sesama orang tua yang kurang mampu tersebut dengan mengunjungi website SiapCerdaskan.com
Setiap klik/kunjungan ke website akan dikonversi ke dalam nilai rupiah selama periode kampanye (April s/d Juni 2016) dan pada akhir periode, jumlah klik/rupiah yang terkumpul akan didonasikan untuk rehabilitasi sekolah di daerah lewat Yayasan ASA (Act, Serve, Aspire).

Gerakan ini juga akan didukung oleh Gerakan 1000 Hadiah Pertama, yaitu program pengumpulan donasi berupa buku dan mainan anak sebagai alat stimulasi perkembangan otak, kepada anak-anak yang membutuhkan. Siapapun bisa mendonasikan buku layak pakai dan mainan edukatif pada Morinaga Parenting Seminar Roadshow “Siap Cerdaskan Si Kecil Sejak Dini” dan mall to mall event: Dunia Generasi Paltinum, bulan April s/d Novermber 2016 di 15 kota.

Jadi bentuk dukungan kita bisa bermacam-macam lho. Dari mengunjungi website, ikut seminar parenting di Jakarta (tanggal 2 April nih, ada yang ikutan?), Bandung (21 Mei, kalau ada yang ikut kita bisa kopdar sekalian nih) dan Surabaya (6 Agustus). Selain ikutan seminar parenting, kita juga bisa berdonasi mainan edukatif dan buku-buku yang bermanfaat untuk menstimulasi kecerdasan batita. Ini lho yang kumaksud, jadi daripada barang-barang Anya menumpuk dan bikin sumpek, ya mendingan disumbangkan saja toh. Alhamdulillah banget kalau bisa membantu anak-anak lain yang kurang mampu, secara mainan dan buku-buku bagus bagi batita memang relatif mahal.

Oh ya, di website tersebut, kita bisa sharing cerita hadiah pertama yang kita berikan kepada anak. Katanya sih, hadiah pertama yang kita berikan ternyata mempengaruhi proses perkembangan kecerdasannya karena kita secara tidak sadar menstimulasi anak kita dengan hadiah tersebut.
Hmmmm…jadi mikir, hadiah pertama buat Anya tuh apa ya. Lupa euy, secara sering banget beliin hadiah hahaha. Kalau ga salah inget sih beliin mainan rattle binatang untuk menstimulasi pendengaran dan motorik miring/mengguling. Selain itu warna-warninya juga menarik Anya untuk memperhatikan. Kalau sekarang mah, kebanyakan beliin buku. Mainan edukatif yang terakhir dibeli slime, pasir kinetic dan lego-legoan. Boneka udah stop beliin, udah kebanyakan dan Anya cuma laper mata doang. Lebih menantang mainan box/lego daripada boneka. Kalau box/lego, Anya bisa belajar warna, menyusun bentuk, berhitung, motorik halus dsb.

image

Menjelang seminar parenting Morinaga di Bandung 21 Mei, keknya mulai ngumpulin mainan Anya yang udah ga kepake seperti soft book, teether, rattle dsb. Yuk!

0

Seorang Emak Harus Memilih Dan Seringkali Pilihannya Ga Enak Semua, Tapi Tetap Harus Memilih

image

Hari ini rasanya bingung sendiri. Jadi ceritanya, saya mendapat undangan event suatu brand di Mall dekat rumah. Sayanya sih seneng, karena sudah lama juga ga hadir bersosialisasi eksis di acara seperti ini, sekaligus nambah networking. Apalagi ternyata boleh bawa Anya.
Rencananya, Anya ntar mau dititipin ke playground ditemenin orang rumah, dan aku ikutan acaranya. Karena kalau Anya dibawa ke acara, pasti aku susah untuk live tweet (yang mana standar kalau ikutan acara brand).

Tapi mendadak semalam inget, kalau jam-nya event tersebut berbarengan dengan jam Anya tidur. Haduh langsung galau. Kalau skip jam tidur, pasti Anya rewel dan tantrum. Di jalan udah tantrum (dan aku nyetir sendiri, udah stress duluan) tambah di Mall aku ga bisa tenang ikutan event-nya. Berarti Anya musti bobok jam 10 pagi.
Masalahnya, Anya mau ga bobok jam segitu. Karena jam 10an itu jam-jamnya Anya aktif main.

Duh, saya bingung bin galau. Pilihannya hadir eksis tapi risikonya Anya tantrum dan saya juga ga bisa tenang ikutan event-nya. Atau saya batalin ikut acara tersebut.

Sebenarnya dalam hati kecil saya udah tahu condong memilih alternatif yang mana. Tapi ada semacam kesedihan (halah) bahwa ternyata masih lama bagi saya untuk bisa hadir dan eksis di acara semacam itu. Ada semacam keinginan untuk dimengerti orang lain, ketika saya seperti menghilang dari peredaran, ga eksis di kalangan teman, mengapa susah banget janjian ketemu teman. Situasinya udah ga seperti dulu lagi yang masih bisa berangkat sejam setelah mendapat pemberitahuan. Udah ga bisa impulsif, lha wong yang terencana saja masih bisa berubah menyesuaikan dengan jadwal si bayi. Banyak pertimbangan, terutama pertimbangan faktor bayi.

Saya juga sadar sih, ga ada kewajiban saya menjelaskan situasi saya ke orang-orang. Meski begitu pengen tetep curhat dan cerita, syukur kalau ada yang bisa memahami. Cerita dan curhat ke teman pun tidak selamanya memuaskan, karena paling males kalau dapat respon: “Anakku bisa adaptasi jadwal emaknya. Aku masih bisa ikutan acara-acara. Anakku anteng tuh kalau aku tinggal beberapa jam.”

Di kupingku, omongan tersebut ada maksud tersirat: “Anakku lebih baik daripada anakmu. You’re doing it wrong, I’m doing it right.”

Eh tapi respon kayak gitu itu luas lho, ga sebatas curhatan soal anak. Banyak topik curhatan bisa menemui respon serupa, mo curhat soal mobilnya kek, bosnya kek, pacarnya kek etc.

Demikian curhatan pagi-pagi emak galau yang rindu untuk eksis dan bersosialisasi.

image

0

Sentuhan Ajaib: Memperkuat Emotional Bonding Saat Baby Blues Menyerang #CBK4

image

Mau cerita dikit tentang baby blues, masih sedikit nyambung sama postingan kemaren. Jadi waktu anya lahir, perasaan yang muncul di aku, ibunya, masih didominasi rasa cemas daripada rasa sayang. Selama sebulan lebih belum bisa “menikmati” lucunya Anya. Apalagi kalau di rumah pas cuma berdua dan suami ngantor (selama sebulan lebih dari sejak pulang rumah sakit cuma berdua aja sama suami, ga ada pengasuh atau keluarga ikut tinggal di rumah) rasanya takut banget melukai anya dan ga bisa jadi ibu yang baik.
Selain itu belum merasakan kedekatan emosional dengan Anya walau sejak hari pertama udah nenenin dan IMD cukup lama abis operasi (pas lahir, saya dioperasi 2x, cesar dan operasi pengambilan kista). Masih ada perasaan berjarak sama Anya, rasanya tugasku adalah sebagai penyedia ASI dan memandikan serta memastikan Anya gapapa. Belum muncul rasa yang gimanaaa gitu, perasaan seorang ibu alias motherhood (susah dideskripsikan). Yang terasa banget mendominasi adalah cemas dan takut. Ngajak Anya berkomunikasi jadinya cuma karena merasa itu sebagai kewajiban aja, bukan sesuatu yang genuine.

Nah ternyata nih, saat-saat paling intens aku berkomunikasi dengan Anya justru pada saat memandikan anya dan sebelum tidur. Secara aku merasa bukan tipe cerewet dan ga pinter omong, jadi sejak hamil agak kesulitan mengajak Anya ngobrol. Lebih seneng diem, baca atau asyik sendiri. Malah lebih gampang ngajak ngobrol kucing daripada anak yang di perut. Tapi teringat artikel Babycenter yang pernah dibaca, maka mengusahakan diri untuk sebisa mungkin ngajak ngobrol Anya.
Lucunya aku justru paling bisa ngakak ngobrol Anya pada saat mandi dan menjelang tidur.

Jadi sambil mandiin Anya, aku ngobrol apa aja dan ditambah nyanyi lagu nursery rhimes dan lagu anak-anak (sampe ngapalin khusus liriknya). Sambil menyeka tubuhnya, menyabuni, membilas dan mengeringkan dengan handuk, aku ngomoooong terus. Pernah direkam video oleh suami, komentarnya adalah, “mBokmu cerewet tenan yo nduk, ” hehehehe. 😁😁😁
Selesai mengeringkan dengan handuk bukan berarti sudah selesai. Ritual masih berlanjut dengan memijatnya dengan lotion khusus bayi. Ritual ini benar-benar bermanfaat mencegah Anya kembung dan rewel. Kami melakukan ritual ini sejak Anya masih bayi merah hingga sekarang 18 bulan.
Pijat bayi ga sesulit yang dikira kok. Tinggal kemauan aja. Belajar pijat bayi bisa dari bidan dan kursus prenatal di RS (kalau aku ikutan senam hamil di RS Hermina Arcamanik selalu ada kelas prenatal sebelum senam) dan dari youtube. Manfaat bisa pijat bayi banyak banget! Bayi selain jadi lebih rileks, jarang kembung, juga membuat tidurnya lebih nyenyak. Manfaat lain yaitu memperkuat bonding ortunya dengan bayinya. Jadi sangat disarankan ga cuma emaknya yang pijat memijat, ayahnya juga kudu bisa melakukan ritual pijat.

image

image

Kalau dari pengalaman pribadi, saat dipijat itu adalah saat yang sangat mendekatkan kami. Bagaimana tidak, Anya sangat menikmati sentuhan kami dan merasa dicintai. Sambil dipijat, menatap Anya dan ngajak ngobrol. Anya kalau dipijat ayahnya, bisa sampai cekakakan ketawanya, sementara kalau sama ibu “cuma” senyam senyum syahdu. Kadang bikin iri, kok sepertinya Anya cuma ketawa ngakak kalau sama ayahnya sih, hih.

Oya untuk pijat bayi ga ada peralatan khusus. Kalau habis mandi, Anya pakai lotion baby Cussons dengan rangkaian keharuman yang sama dengan sabunnya. Dengan lotion, kulit anya jadi lembab dan halus. Oh ya, bayi juga perlu perawatan kulit untuk menjaga kelembapannya lho. Soalnya kulit bayi ternyata bisa kering juga kalau ga dirawat.
Kalau pijat sebelum tidur biasanya kami lakukan setelah ganti popok. Biasanya pakai baby oil Cussons biar enak kalau dipijet trus baru dikasi minyak telon. Biasanya Anya jadi lebih rileks walau ga dijamin langsung bobok sih. Tapi biasanya Anya udah tahu, kalau diganti popok trus dilanjut pijat, berarti sudah waktunya bobok.

image

Eh trus gimana soal baby blues tadi? Ternyata mak, baby blues adalah perasan yang wajar dialami ibu sehabis melahirkan. Banyak yang merasakannya, jadi ga usah merasa sendirian, apalagi merasa bersalah dan melabeli diri yang enggak-enggak. Cara untuk mengurangi baby blues agar tidak berkelanjutan menjadi post partum depression (depresi pasca melahirkan) adalah terbuka terhadap perasaan tersebut, tidak menyangkalnya. Lalu bicarakan dengan suami, minta suami untuk mensupport. Perkuat emotional bonding dengan memperbanyak sentuhan kepada bayi baik lewat pelukan, gendong, dekap dan pijat. Dorong suami untuk ikut terlibat pengasuhan anak, dengan memujinya karena sukses mengganti popok, memandikan dan memberikan pijatan. Sentuhan adalah wujud cinta dan kasih sayang yang bisa dirasakan anak, sehingga anak bisa merasakan benar rasanya tumbuh dengan cinta. Perasaan dicintai itu penting banget sebagai dasar tumbuh kembang anak lho, mak.

image

Nah, kebetulan ternyata Cussons sedang ada event Cussons Bintang Kecil 4. Hadiahnya total 1 Milyar bok!! Wooohh ngiler ga seeehhh!!? Bisa buat tabungan sekolah anak lho (mata langsung ijo). Cussons Bintang Kecil ini adalah lomba foto dan video yang diselenggarakan oleh brand Cusssons. Caranya gampang banget, orang tua tinggal bikin foto dan video buah hati, sertakan 2 produk Cussons di foto/video tersebut trus upload deh. Foto dan videonya harus menggambarkan tema “Tumbuh dengan Cinta”. Nah kira-kira foto/video kek apa ya yang menggambarkan tema tersebut. Kalau fotonya Anya di atas sudah pas gak dengan temanya? 😁

Info lengkap mengenai lomba Cinta Bintang Kecil 4 Cussons Baby bisa diklik di sini atau dibaca pada channel social media berikut
– FB:  https://www.facebook.com/CussonsMumMe.Id/
– TW: https://twitter.com/cussonsmumme_id
– Web : http://cbk.cussonsbaby.co.id/

image

Btw baru tahu kalau Cussons sekarang  ganti baju ya, berupa desain kemasan baru dan logo baru yang lebih fresh. Jadi kalau mo menyertakan produk Cussons di foto/video, cek betul produknya masih kemasan lama atau kemasan baru. DEMI SATU MILYAR, MAAAAAK!

image

7

Hal-hal Yang Orang-orang Ga Kasih Tahu ke Ibu Habis Melahirkan

image

Berbeda dengan nikah/kawin yang ada musimnya, kalau hamil kayaknya ga kenal musim ya. Maksudnya di tradisi Jawa, ada bulan yang pantang/ga pantes menyelenggarakan pernikahan, misal bulan Puasa dan Tahun Baru Jawa/Suro. Puncaknya menjelang Lebaran Haji, undangan yang diterima untuk satu hari mungkin bisa sampe 4-5 biji. Kali 100 untuk ngasih amplopan, dalam sebulan bisa abis lebih dari setengah juta hehehe. Lha kok malah ngomongin kawinan, kan mau bahas soal kehamilan dan kelahiran.

Jadi soal kehamilan, kayaknya tiap bulan selalu mendengar kabar bahagia ada teman hamil. Bahkan kadang bisa beberapa teman hamil hampir berbarengan, cuma selisih beberapa minggu/bulan. Mungkin karena itu ada idiom ‘hamil itu nular’.

Beberapa minggu  lalu, tetangga sebelah juga abis lahiran. Mendadak gitu, orang sebelumnya mereka abis kumpul keluarga dan baru masuk minggu 37. Alhamdulillah ibu dan bayinya sehat. Nah kemaren denger obrolan ponakan, katanya di tetangga sebelah ada penghuni lain yg juga sedang hamil. Keliatan dari perutnya yang besar. Lalu ketika ngeliat sendiri, malah pada heran, “lho itu tetehnya yang abis nglairin kok, emang hamil lagi? Kok perutnya gede gitu.”

Oh lala, ternyata weceu-weceu lugu ini gak tahu. Sehabis lahiran, perut ga langsung kempes-pes. Gloyor dan kondisi masih kek hamil 3 bulan gitu. Kondisi ini mengingatkan ketika aku hamil dan melahirkan dulu. Mungkin karena aku hamil dan melahirkan jauh dari keluarga, walau ada whatsapp grup emak-emak tapi keknya juarang/ga pernah bahas perubahan tubuh pasca melahirkan. Jadi dulu pas abis nglairin Anya, aku sempet sedih dan ga pede kalo liat perut. Kondisi perut nggilani, koyor-koyor, menggelambir dan persis seperti masih hamil 3-5 bulan. Mana ga bisa pake stagen/korset karena bekas operasi caesar sempet kebuka dan meradang.

Jadi begini, ada beberapa hal yang mungkin jarang/tidak pernah disampaikan orang-orang ke ibu  baru. Rata-rata mereka sibuk menasihati segala pernak-pernik bayi, nanti bayinya begini begitu dsb. Ketika si ibu baru ini menjumpai kondisinya kok tidak seperti dibayangkan (atau malah ga pernah kepikiran/kebayang sama sekali) bikin kagok, minder, cemas, bingung dsb.

Jadi beberapa perubahan yang terjadi pada seorang ibu yang abis melahirkan tapi jarang diinformasikan adalah sebagai berikut:
1. Perut abis nglairin ga langsung kempes. Kondisinya “ga cantik” dan mirip seperti masih hamil. Untuk kembali menyusut tergantung usia (usia 20an awal lebih cepet menyusut daripada yg hamil pertama umur 30an), gaya hidup sebelum hamil (rajin olahraga ga) dan pola makan setelah melahirkan.
2. Adalah wajar setelah melahirkan, seorang ibu ga merasakan kegembiraan tp didominasi rasa cemas atau datar. Banyak ibu-ibu yang menyangkal kondisi ini padahal mengalaminya, karena takut penghakiman masyarakat. Dibilang ga keibuan lah, bukan ibu yang baik dsb. (Kekuatiran) Label kek gitu malah makin memperburuk perasaan tersebut lho. Nama kondisi ini adalah baby blues. Kondisi ini wajar banget, ga usah merasa aneh dan merasa buruk. Kalau ga didukung oleh sekitar dan dipendam sendiri, apalagi disangkal, bisa berlanjut ke depresi post partum yang lebih parah dan berbahaya bagi keselamatan ibu dan bayi.
3. Bentuk payudara  berubah. Mau gimana rayuan para aktivis ASI yang mati-matian bilang bahwa menyusui ga mengubah bentuk payudara, faktanya bentuk payudara berubah. Apalagi pas awal-awal menyusui hingga selesai ASI eksklusif. Perubahan ini terlihat sejak kehamilan memasuki trimester ketiga. Seperti aerola membesar dan berwarna lebih gelap. Selesai menyusui juga payudara menjadi agak kendor. Tapi kata temen yang anaknya udah gede, nanti payudara akan  kembali “membaik”. Kalau aku mah sabodo teuing, ga cemas atau minder. Mungkin karena aktivitas menyusui telah mengubah persepsiku tentang payudara. Jika dulu payudara adalah sebagai objek seksual, sekarang ngeliatnya adalah sebagai sumber kehidupan. Beneran lho. Liat bokep dan porn kok rasanya “hambar” dan melihat berbagai bentuk tetek diumbar yang keinget adalah anak. It’s mother milk! Sumber makanan utama.
4. Kehidupan seks berubah. Yang jelas jadi kudu cari-curi curi-cari waktu. Apalagi kalau ga ada baby sitter dan anak tidur bareng. Para bapak dimohon pengertiannya.
5. Identitas pribadi berubah. Maksudnya bukan identitas macem ktp. Tapi pribadi. Kadang pribadi itu menghilang perlahan ditelan urusan perbayikan dan parenting thing. Ada yang bisa menerima tanpa masalah, ada yang kaget/shock dan suka rindu “the old me”. Its okay, itu bukan berarti ga bersyukur. Yang penting adalah mengakui perasan itu ada, tidak menyangkal/pura-pura ga ada. Langkah selanjutnya adalah penerimaan bahwa kita emang masuk fase baru yang sangat berbeda.
6. Menyusui itu ga gampang! Sekhatam apapun kamu melahap teori menyusui, tetapi ketika waktu itu tiba, ternyata tetep bikin panik, sakit, bingung. Menyusui ternyata ga segampang yang dilihat, dan digembar-gemborkan aktivis ASI. Mengherankan juga sih, mengapa aktivitas “purba” bisa sedemikian rumit bagi manusia saat ini. Dulu pas belum ada konselor ASI dan segala printilan pembantu ASI, gimana ya proses menyusui seorang ibu. Apakah hewan mamalia juga ada yang mengalami kesulitan menyusui? Selain itu ibu yang baru awal-awal menyusui akan banjir keringat, lepek, kuyu, bau (ASI) waaahhh pokoknya enggak banget lah. Jadi jangan heran ada sebagian ibu yang lebih suka tidak menerima tamu di awal-awal pasca lahiran. Selain karena butuh istirahat juga ga pede dengan kondisinya yang kucel berat harus menerima tamu.
7. Masa nifas bisa bervariasi lamanya. Ada yang seminggu pasca melahirkan udah berhenti, ada yang lebih dari 40 hari.
8. Jahitan operasi cesar bisa terbuka lagi. Ini pengalaman pribadi sih. Jadi beberapa minggu pasca melahirkan, tiba-tiba badan diserang demam hebat. Seumur-umur baru kali itu merasakan badan menggigil karena demam. Diselimuti setebal apa masih menggigil. Ternyata jahitan cesar terbuka dan meradang, sampai bernanah. Pantesan demam hebat, infeksi. Entah juga mengapa sampai bisa terbuka, bisa jadi karena aktivitas (karena ga ada baby sitter, ga ada ART, semua dihandle cuma berdua sama suami termasuk masak dsb). Sekali lagi ini pengalaman pribadi, karena banyak juga teman-teman yang cesar dan baik-baik aja. Yang jelas bervariasi rasa sakit yang dirasakan. Ada yg seminggu setelahnya udah bisa jalan-jalan enak, ada yang harus bedrest total, ada yang ga bisa dipake jongkok, dsb.
9. Setelah jadi orang tua lebih membutuhkan honeymoon daripada pengantin baru and that’s so true. Ironisnya banyak pasangan orang tua yang justru ga sempet dan ga bisa honeymoon, entah karena kesibukan, susah ninggal anak, budget dsb. Padahal setelah ada anak akan lebih banyak konflik yang terjadi dan lebih dalam dampaknya dibanding pas waktu berdua aja. Lebih banyak perdebatan, tengkar mulut atau kekesalan dan sakit hati plus kesedihan yang dipendam (terutama tipe yang memendam perasaan), karena cape fisik, cape otak, cape psikis. Apalagi kalau suami ga mau terlibat merawat anak dan bantuin urusan domestik, tipikal feodal gitu.

Hmmm apalagi ya? Ada yang mau nambahin ga? Welcome lho 😁😁😁

Hmmm apalagi ya…

0

Ibu Yang Buruh, Buruh Yang Ibu

crying-baby-700x400Hari ini ada demo/mogok buruh. Ga tertarik ngikutin pro kontranya. Sedang sibuk dengan pikiran sendiri sebagai buruh.

Hiks, bagaimana ya. Sebagai ibu rumah tangga, saya selalu didorong suami untuk cari kerja. Katanya lebih ke faktor pride, karena label ibu rumah tangga tu kesannya nganggur banget dan kurang membanggakan. Selain itu untuk nambah kegiatan daripada ngelangut ga jelas. (Seharusnya dari sini sudah terlihat, bagaimana masyarakat memandang label ibu rumah tangga kebanyakan pandangan negatif seperti nganggur, ga banyak kerjaan, kerjaannya nonton gosip di tv dan ngerumpi).

Jadilah saya ibu rumah tangga merangkap buruh (freelance). Jam kerja saya ga banyak, memang sengaja nyari yang begini karena masih harus mengasuh Anya. Selain itu nyari yang bisa dikerjakan di rumah, karena ga bisa ninggal Anya (tidak ada pengasuh yang bisa saya percaya).
Ternyata kerja dari rumah itu enak ga enak. Kalau dari sisi sebagai ibu, enak karena bisa sambil ngawasin anak dan ga galau mikirin bagaimana Anya dihandle orang lain. Ga enaknya dari sisi buruh; kerja nyambi ngasuh anak itu ga maksimal. Dedlen selalu keteteran. Konsentrasi terpecah setiap saat. Paling sulit fokus ketika harus memerah ide sementara anak nangis-nangis. Antara mau nyuekin atau harus ngedatengin. Tapi kalau dideketin, biasanya langsung nemplok dan ga mau lepas.

Setiap anak karakternya beda. Mungkin ada yang berpendapat, “tuh si A kok anaknya bisa ditinggal jadi emaknya bisa ngapa-ngapain. Anaknya gapapa tuh sementara ditinggal keluar, bareng sama pengasuhnya.”
Saya ga perlu njelasin karakter Anya gimana kan ya. Saya cuma kasih gambaran bahwa Anya sangat lengket dengan ibunya dan separation anxiety-nya cukup tinggi. Jadi ga perlu bandingin sama anak-anak orang lain dan nanya kenapa saya ga bisa kayak ibu-ibu lain.

Sebagai buruh yang butuh duit, tentunya saya pengen kerjaan cepet selesai dan perform baik dong biar duitnya tambah banyak. Tapi nyambi-nyambi bikin ga maksimal. Jadi sedih deh, kalau ga bisa perform karena ga bisa maksimal itu tadi. Rasanya ga berharga dan kalah. Iya dong, sebagai buruh kan dihargai dari jumlah duit yang diperoleh. Duit diperoleh dari seberapa perform dirimu. Kalau ga perform, ya ga dapat duit.

Kalau begini jadi suka merenung. Memang dunia kerja (sebenarnya) ga bersahabat/ga berpihak buat wanita terutama ibu dengan anak kecil/bayi. Realistis aja, ketika perempuan menikah dia diharapkan mengandung dan punya anak. Konsekuensinya, ada situasi yang membuatnya tidak bisa kerja yaitu saat melahirkan dan anaknya masih bayi. Bahkan saat hamil pun mungkin ada yang ga bisa maksimal, misal karena fisiknya jadi menurun.  Yang pas hamil termasuk kebo alias fisiknya kuat pun dijaga dengan mengurangi kegiatan lapangan yang berat, naik pesawat terutama di minggu-minggu rawan. Perusahaan/HRD pasti mikir kesitu kan.
Cuti hamil/melahirkan adalah hak karyawati dan kewajiban perusahaan. Bisa dapat cuti 3 bulan aja udah anugerah karena ada lho karyawati yang didholimi haknya. Belum kebutuhan nanti pas masuk kerja, yaitu pompa ASI demi kebutuhan si bayi. Butuh saat khusus dan ruang khusus. Dari sisi perusahaan, mikir juga lho kalau ada karyawannya ga masuk 3 bulan dan tetep kasih gaji, gimana caranya agar laju kinerja perusahaan ga terganggu. Terutama buat perusahaan yang belum meraksasa. So realistis banget buat perusahaan kalo mereka pas nyari karyawan, prefer laki-laki. Ga pusing ngatur kalau hamil dsb. Padahal di satu pihak, pihak si ibu, justru setelah menjadi ibu sangat butuh kerjaan karena lebih membutuhkan uang untuk mengongkosi kebutuhan si baby.
Ini mungkin sangat dialami oleh perempuan/ibu dari kalangan menengah ke bawah. Kalau dari kalangan menengah ke atas, ketika kebutuhan bayi sudah cukup dari kepala rumah tangga, mungkin bekerja untuk tambahan aja. Lumayan buat tambah-tambah dana biaya masuk playgroup ntar (yg naujubilah mehelnya).

Karena itulah dari segi perempuan pekerja, adanya susu formula sebenarnya sangat membantu ibu-ibu untuk bekerja menghidupi anaknya. Terutama bagi kalangan menengah bawah. Mungkin aku akan dibully NAZI ASI, ASI garis keras. Tapi coba bayangkan dulu, pahami dulu situasinya. Susu formula memungkinkan ibu-ibu meninggalkan bayinya tanpa kuatir lagi asupan makannya (minumnya). Sekarang sih udah ada pompa ASI (walau yang bagus masih relatif mahal) tapi ga semua tempat menyediakan tempat untuk memompa ASI dan mungkin ga semua bos maklum kalau karyawatinya ijin untuk memompa. Apalagi memaklumi yang bayinya mengalami separation anxiety tinggi plus bau tangan. Ga bisa lepas dari emaknya.

Jadi boro-boro ngikutin pro kontra mogok buruh, sebagai buruh sekaligus ibu udah pusing mikirin dedlen, anak nangis, perform yang makin menurun disela ngasuh anak. Hadeh. Ada ga bos yang berbaik hati mempekerjakan kalangan ibu-ibu macam saya begini dengan pemakluman yang sangat luas? Ga ada kan, gila kalo ada.

1

Menulis Untuk Apa Sih?

writing that heals

 

Semalam aku nemenin Anya nonton Dinopaws, kartun di Cbeebies channel. Anya jam 1/2 sebelas malem masih melek lebar, emaknya udah ngantuk berat. Jadi ketika Anya jam segitu masih pengen main, emaknya udah lemes dan kehabisan ide. Diajaklah Anya nonton Cbeebies aja. Eeee malah Anya sibuk mainan sendiri sama mainannya, emaknya malah yang nonton. Cerita episode tersebut adalah arti teman bagi Bob, Tony, dan Gwen. Bob terjebak di pucuk pohon, Gwen dan Tony sibuk mencari pertolongan tapi akibatnya malah Gwen dan Tony kelempar ke pucuk pohon, dan terjebak bersama Bob. Kata Bob, “Kalian memang teman baikku, selalu ada di sampingku dan saat aku butuh pertolongan.”

 

Kata-kata Bob membuatku berpikir tentang arti teman. Banyak banget quote dan cuplikan entah film, lagu atau buku yang mendefinisikan teman sejati/teman baik adalah teman yang selalu ada di sampingmu dan selalu ada saat kamu butuh. Pada saat itulah aku tersadarkan, di kondisiku sekarang berarti aku bukan teman yang baik. Situasi berkeluarga, punya bayi, membuatku tidak bisa selalu hadir dan ada untuk teman-temanku. Ketika mereka sedang kesulitan, kesusahan, butuh teman curhat, butuh support, ingin ditemani jalan-jalan, aku gak bisa. Aku masih harus ngurus Anya, masih harus ngurus rumah, masih harus memikirkan kebutuhan suami, masih harus bersihin rumah, dan sebagainya. Pikiranku udah kepenuhan dengan Anya, keluarga, rumah. Bahkan untuk diri sendiri aja keteteran, diabaikan, ditunda demi mendahulukan kepentingan keluarga. Nah aku ga bisa selalu ada di samping teman. Obrolan atau pertanyaan di whatsapp aja baru terjawab beberapa jam kemudian. Teman macam apa aku?

Kesadaran ini membuatku bersikap tahu diri untuk ga menuntut adanya teman yang selalu ada buatku. Aku paham, ketika seseorang sudah beranjak dewasa, berkeluarga apalagi punya anak, prioritasnya berubah.

Jangan salah, aku dulu melakukan kesalahan dan egois waktu masih lajang. Aku heran dan bete ketika semua teman-temanku yang udah menikah jadi berubah. Mereka jadi susah dihubungi, susah diajak main. Malah ada yang kayak ngilang gitu, membuatku jadi suudzon dan menghakimi mereka. Melihat mereka temen-temenku ini setelah jadi ibu enggak asyik lagi. Eeee sekarang aku di posisi mereka 😐 Nah lho, karma memang betul terjadi euy. Duh.

Kembali ke situasiku. Sebenarnya justru di masa seperti ini, butuh sekali teman bicara. Perubahan yang terjadi setelah punya anak membuat jetlag dan canggung. Masih sulit untuk 100% menerima dan masih sering timbul kerinduan masa lalu. Apalagi aku dulu kemana-mana sendirian dan bebas kemana aja. Sekarang mau pergi ke supermarket aja kudu nyiapin Anya dulu, ga bisa langsung capcus. Jadi ya maklum kalau agak-agak jetlag. Perubahan ini sering membuat frustasi dan butuh teman bicara. Tapi sadar, semua temen udah sibuk dengan urusan masing-masing. Sementara kebutuhan ngobrol dari hati ke hati dalam rangka membuat tetap waras, besar. Jadi kemana aku mencari kebutuhan tersebut? Suami? Suami sibuk dan seperti kata teman, “semua suami adalah pengidap ADHD” (ga ada maksud menghina pengidap ADHD lho) so curhat dengan suami ga masuk list. Lupakan saja.

Jadi kemana aku mencari kebutuhan tersebut? Ternyata jawabannya adalah menulis! Menulis membuatku tetap jernih dan waras. Menulis untukku adalah bentuk terapi. Nah media untuk menulis yang bagaimana yang bisa membebaskan? Macam-macam. Jaman dulu kan ada diary ya, aku dulu rajin nulis di diary. Dari SD sampai kuliah. Banyak tuh kumpulan diary dan tersimpan dengan baik. Sekarang dengan adanya blog dan social media, jadi media buatku untuk menyalurkan terapi menulis.

Ketika menulis, aku menguraikan apa yang ada dalam pikiranku. Dalam proses penulisannya, aku seperti membaca ulang apa yang aku pikirkan. Yang terjadi kemudian adalah proses refleksi, merenungi pemikiranku sendiri dan mencoba lebih memahami. Sebuah proses yang terjadi terus menerus. Gak menghilangkan perasaan dongkol, frustasi, marah, sedih dan sebagainya. Perasaan tersebut tetap datang tapi aku jadi lebih paham, minimal lebih aware apa yang terjadi dengan diriku. Karena itulah dalam setiap tulisanku, aku mencoba untuk jujur. Kalau menulis ga bisa jujur, bagaimana bisa bersikap reflektif? Bagaimana bisa aware?

Itulah, menulis bagiku adalah sebuah terapi. Social media membuatnya jadi lebih mudah. Gadget bukan musuh, tetapi juga teman karena membuatku bisa bicara apa saja, hadir kapan saja, tanpa menghakimi (yang menghakimi kan orang lain, bukan gagdetnya).

Soal teman, aku sekarang berpendapat, teman itu bukan hal yang abadi. Teman juga ga kebal dari perubahan. Teman datang dan pergi, biasa itu, ga usah sedih. Kita aja berubah, apalagi teman. Teman lama mungkin menganggap kita udah ga asik lagi. Yaiyalah, pandangan udah berubah. Pengalaman yang dilalui membuat value dan prioritas berubah. Jadi ketika ngobrol dengan teman lama yang berbeda value dan prioritasnya, ya mungkin udah ilang chemistry-nya, udah ga nyambung lagi. No worries, paling engga buat aku. Cenderung introvert dan lebih baik dalam mengungkapkan perasaan dalam bentuk tulisan dibanding ngomong langsung (walau tulisanku ga bagus-bagus amat sih, tapi aku lebih bisa nulis daripada ngomong) membuatku kebutuhan berjumpa langsung dengan manusia tidak begitu besar. Mungkin beda dengan mereka yang ekstrovert, pergumulannya jadi lebih sulit. Karena makin tua kita, makin bertambah usia, makin sulit untuk menambah teman. Dan bagi mereka yang ekstrovert, bertemu dengan orang lain adalah suntikan energi. Sedangkan bagi introvert, bertemu dengan orang lain apalagi banyak orang justru menguras energinya.

Kamu sendiri, menulis untuk apa?

 

0

Antara Sampah, Generasi Tua, dan Generasi Anya

image

Ngomongin masalah sampah, lingkungan hidup, dll ternyata ga ada kaitan antara jenjang pendidikan, status sosial ekonomi dan kepedulian terhadap lingkungan. Menurutku, perilaku peduli lingkungan (diet tas plastik/bawa sendiri tas waktu belanja, matiin listrik ketika tidak dimatikan, buang sampah pada tempatnya, memilah sampah, dsb) merupakan karakter. Begitu juga perilaku bersih.

Yang jadi misteri adalah, mengapa ada orang yang mempunyai karakter seperti itu dan ada yang tidak. Padahal sama-sama berpendidikan, melek informasi, berasal dari status sosial yang sama. Apakah yang membedakan karena pola asuh?

Ah tapi ada juga yang dari kecil tidak diajarkan memilah sampah dsb ketika dewasa bisa disiplin pilah sampah. Ada yg kecilnya dibesarkan oleh orang tua yang tidak suka binatang tapi pas gede sayangnya ke binatang buanget-banget. Jadi apa dong yang membedakan? Faktor apa agar seseorang mempunyai karakter peduli lingkungan? Semoga ada penelitian menyelidiki hal ini, penting nih untuk kemaslahatan umat manusia.

Btw masih terkait perilaku peduli lingkungan, sementara ini yang bisa dilakukan adalah fokus terhadap pendidikan generasi masa depan. Siapa sih generasi masa depan? Ya anak-anak kicik, anak-anak kecil, anak-anak kita. Mengapa? Udah terbukti bahwa mengubah perilaku orang dewasa tuh susah setengah mati. Perilaku orang gede tu berasal dari kebiasaan yang sudah mengurat-akar puluhan tahun. Biasanya sih orang dewasa perlu momentum besar agar mau berubah perilaku. Misal nih, kudu sakit jantung dulu agar berhenti merokok. Perlu kecelakaan dulu agar mau pake helm atau care tentang safety. Dan sebagainya lah, hal semacam itu. Kata mereka sih, “old habits die hard”. Mengapa demikian, mungkin karena menjadi orang dewasa melelahkan, energi sudah ga seperti masa kecil/muda, sementara mengubah perilaku butuh banyak energi.

image

Bahkan diingetin pasangan/keluarganya agar mau mengubah perilakunya, bisa jadi debat dan pertengkaran. Ego tersinggung dan defensif, logikanya mengatakan semua baik-baik saja dengan perilaku yang sekarang, ngapain diubah. Padahal tiap hari baca berita dan liat foto seliweran betapa lingkungan kita udah terdegradasi. Terucap kata “prihatin”, mungkin terselip perasaan kasihan tapi tidak cukup menggerakkan dia untuk berubah. Masih nyaman di status quo.
Asumsi lain, kemungkinan ybs terlalu abai dan ga peduli jadi merasa ga perlu repot-repot mengubah dirinya. Ada orang lain yang akan membereskan (kekacauan yang dia buat).

Nah ngadepin orang dewasa yang berpikiran macam ini tuh buang energi banget. Apalagi mencoba mengubahnya, sia-sia. Antara energi yang kita keluarkan dan result, ga sebanding. So paling gampang adalah membentuk mereka yang masih mudah dibentuk, yaitu anak-anak. Mereka yang masih membentuk kebiasaannya, yang lebih mudah diberitahu tanpa melibatkan ego terluka ketika dibenarkan/diingatkan/dikritik.

Jadi lebih baik simpan tenaga dg fokus membentuk perilaku anak-anak kita untuk lebih peduli lingkungan, aware terhadap hal-hal kecil, self cinscous. Semua bisa dimulai dengan hal-hal kecil di rumah dan di sekolah. Semoga dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi semua makhluk.

image

0

Doa Ibu

Malam ini, saat ibu menguatkan diri begadang menyelesaikan kerjaan ditemani playlist yang diputer V channel. Otak rasanya masih rasa membeku, lalu terpekur dan terpaku dengan lagu-lagu yang tayang. Kebetulan lagunya enak semua, dari The Killer, Temper Trap sampai Coldplay. Ibu lalu teringat Anya yang responsif terhadap lagu, terutama lagu-lagu nursery rhimes yang diputer Baby TV. Lucu banget ngeliat responmu nak, kamu berusaha menirukan, berdendang tapi suara yang keluar dari mulut mungilmu masih belum bisa berirama. Tapi kamu sudah bisa mengenali nada/irama, kamu menggerakkan kaki, menggoyangkan pinggang dan tangan, berjoget mengikuti irama dan nada tertentu.

Anya, musik adalah hasil karya manusia paling jenius dan indah yang ada di dunia. Musik mampu menggerakkan perasaan dan emosi. Berpadu dengan tubuh, maka keduanya menjadi kombinasi yang sangat indah. Tubuh adalah instrumen. Ibu suka iri dengan atlet dan penari yang mampu menggerakkan tubuhnya begitu bebas dan merdeka. Menari rasanya memerdekakan tubuh, bergerak sesuka hati, mengalir mengikuti irama dan nada.

Ibu ingin Anya merdeka. Mengalir. Gembira. Bebas. Seperti musik yang mampu menggerakkan perasaan. Menarilah, bergeraklah dengan bebas merdeka. Gembira karena Anya bebas merasa sedih, marah, bete, jijik, senang, rindu, dsb.

Apa yang ibu bisa perbuat agar kamu tumbuh seperti itu ya?

1

Pengakuan Jujur Seorang Ibu

Kadang aku bete dengan suamiku. Sebagai ibu RT yang nyambi kerjaan di rumah, walau ada asisten tapi Anya aku pegang hampir seharian. Bukannya aku ga suka deket Anya terus, tapi kadang frustrasi juga kalau butuh waktu 2-3 jam tanpa diganggu untuk menyelesaikan pekerjaan. Jangankan satu jam tanpa gangguan, kegiatan seperti makan dan mandi tanpa interupsi sudah mewah sekali. Disitu aku merasa kewalahan.

Oh oh bolehkah jika aku merasa bosan? Entah bosan atau kehabisan ide, ketika lebih dari dua jam berhadapan dengan makhluk mungil yang belum bisa bicara dan konsentrasi masih pendek alias gampang bosan, menonton acara yang sama berulang, bermain permainan yang kurang lebih sama. Pikiran melayang ke pekerjaan yang belum disentuh, aitem online shopping yang kemaren dilihat dan menggoda iman, status kawan-kawan yang bersenang-senang, ART yang butuh disupervisi, dsb.

Berbagai ide cemerlang yang sempat terpikir saat termenung di WC terlupakan. Pikiran kehabisan ide mau apalagi yang bisa membuat anak happy, apalagi ditambah galau dan kesal melihat anak ga mau makan (sementara ada 3 jenis makanan berserakan yang tidak dihabiskan karena ybs bosan/tidak mau).

Karena itu rasanya bete kuadrat saat suami mengolok-olok aku yang melarang Anya, ‘no no no no no!’.
Katanya, “Banyak banget ngelarangnya.”
Kesel kuadrat saat suami meremehkan kebutuhan teman bicara. Dianggapnya serumah dan ngobrol (sekilas-sekilas) sudah lebih dari cukup, apalagi saat weekend katanya seharian ketemu terus.
Sendirinya pengen mencibir suami yang pegang Anya baru satu jam dan udah manggil-manggil istrinya ngapain, kemana, kalo engga penting kok gak megang Anya aja. (Enggak penting di sini seperti memasak, bersih-bersih, ngemil, dsb bukan hal darurat kencing dan pupup).

Silakan judge aku sebagai ibu yang tak bisa bersyukur. Yang tak bisa bahagia dan mengkontrol diri. Butuh teman bicara tapi tak ada dan siapa lagi teman terbaik kecuali seperangkat smartphone yang bisa menjadi tempat menumpahkan uneg-uneg daripada gila dan depresi.