0

manfaat social media untuk keluarga

Menjadi ibu di era social media, peer pressure mungkin lebih berat dibanding sebelum-sebelumnya. Sebabnya, segala hal yang dilakukan keluarga lain langsung terpampang di depan mata. Keinginan untuk membandingkan dengan diri sendiri jadi lebih sering muncul, seringnya malah ga disadari. Fyi, reflek membandingkan diri dengan orang lain adalah perilaku yang “diajarkan” nenek moyang kita jaman prasejarah sebagai metode survival, menurun dan mengendap sedemikian dalam di bawah sadar.

Akupun merasa begitu. Memang menyebalkan dan ga asik, ujungnya jadi ga pede, minder, iri, dsb. Makanya kadang suka males buka socmed tertentu seperti misal instagram, karena melihat para ibu masih bisa melakukan hal-hal yang disukai, rasanya iri sekalih! Apalagi kalau melihat mereka tampil kece, keren, cantik, seksi dan nongkri-nongkri cantik di kafe yang ambience-nya cozy banget. Udah gitu cuma bisa nelen ludah pas liat foto-foto tempat bagus, cakep, adem, pemandangan menyejukkan mata, pikiran dan jiwa. Aku juga pengen gitu tapi banyak pertimbangan yang membuatku memutuskan untuk memprioritaskan Anya. Entahlah ada yang bisa memahami hal ini atau tidak, tapi baca status FB Human Of New York dan komentar-komentarnya, ternyata banyak juga ibu-ibu di Amrik sono yang merasakan seperti yang aku rasakan. Karena itu social media rasanya jadi frenemies, friend sekaligus enemy bagi para ibu. Karena di satu sisi, social media sangat membantu kami para ibu untuk terus update informasi di saat kami terbatas untuk bepergian. Di sisi lain ternyata dapat membuat kami tertekan.

Tapi beberapa hari lalu tiba-tiba punya pikiran lain tentang social media. Sebenarnya social media bisa menjadi teman bagi keluarga dan dimaksimalkan manfaatnya. Hal ini terpikir ketika akhir-akhir ini aku merasa lalu lintas Bandung semakin tidak bersahabat alias makin macet. Rasanya tidak ada hari tanpa macet bahkan di weekdays sekalipun. Apalagi sekarang Bandung punya julukan baru, Kota Banjir. Hujan di Bandung menjadi momok, karena menyisakan banjir dan macet gila. Makin maleeessss pergi keluar.

Belum lagi menghitung biaya yang dikeluarkan setiap keluar. Sungguh tidak cocok untuk gaya hidup hemat dan usaha mengurangi konsumsi (demi bumi yang lebih baik) (yayaya, tidak semua bisa paham alasan ini). Jadi berpikir, social media bisa jadi salah satu  solusi. Misalnya nih, silaturahmi dengan saudara bisa digantikan dengan social media. Update kabar terbaru mereka dan stay in touch tanpa harus bermacet-macet. Ngobrol di social media (oh ini lebih menyenangkan bagi para introvert).

Hmmm apalagi ya, manfaatnya?

2

Emak Ideal Di Mata Masyarakat

Parenting khususnya motherhood semakin menantang di era socmed, kayaknya betul adanya. Jamannya sudah berbeda dibanding ibu-ibu kita dulu. Harapan orang lain (masyarakat)  ke ibu-ibu jaman sekarang makin besar dan makin berat (kalau ndak dibilang ga masuk akal) karena ibu-ibu sekarang diharap jadi sempurna. Capek banget kan?

Jaman dulu, harapan masyarakat paling banter adalah seorang ibu bisa lebih membagi waktu dengan anak dan keluarga di rumah. Jaman sekarang? Seorang ibu diharapkan selain bisa mengasuh anak (asi eksklusif, MPASI homemade, anaknya bersih, wangi, sehat, pinter, behave) juga berperan di luar rumah (pinter cari duit, aktif di kegiatan masyarakat/sosial, ga kehilangan identitas pribadi), bisa ngurus rumah (rumah rapi, bisa masak dan memberi homecooking buat keluarga dari bahan organik) dan sebagainya. Selain itu kudu tampil segar, cantik, modis, dsb. Pokoknya dituntut multi peran, multi tasking dan sempurna. Contoh ideal seperti Dian Sastro, yang di sela mengasuh bayi masih bisa kuliah S2 dan jadi pablik fijer.

Masyarakat ga mau tahu dibalik citra ideal seperti itu ongkosnya seberapa. Buat mereka, adalah wajar dan suatu keharusan bahwa seorang ibu musti jungkir balik dan bekerja keras. Masyarakat  sulit menerima figur ibu yang “malas” atau cuma mau praktisnya.

Tadi baca postingan di mommie dailies tentang figur seleb yang udah jadi ibu dan jadi idola. Seleb ini dikagumi karena setelah jadi ibu yang memperjuangkan ASI eksklusif, dia tidak kehilangan identitasnya sebagai seleb. Jadi doi tetep funkeh, gaul, modis jauh dari kesan ibu-ibu, katanya.

Hal ini membuatku berhenti membaca dan berpikir. Apa yang salah dengan tampil emak-emak banget? Ga sedap dipandang mata gitu? Ga asik dilihat?

Kita ini hidup di tengah pro kontra. Ada sebagian masyarakat yang mencibir ibu-ibu yang bertahan tidak ingin kehilangan identitasnya yang dulu, semasa lajang. Dikomentari egois lah, ga bisa menerima kenyataan lah hingga tudingan melupakan anak. Di sisi lain, ada sebagian yang memandang rendah ibu-ibu berpenampilan emak-emak banget-saking emak-emaknya sampai sering dikira pembantu. Dikomentari ibu-ibu banget, mbok-mbok banget. Dilabeli ibu tapi konotasinya kurang bagus.

Yang mau aku bilang adalah, menuruti komentar orang itu ga ada habisnya. Masukin komentar mereka ke hati juga bikin capek, apalagi menuruti komentarnya.
Sebagai manusia wajar sih timbul keinginan untuk diterima dalam kelompok. Tetapi jika keinginan ini membuatku jadi kehilangan kemerdekaan diri, ga merdeka jadi diri sendiri, ya gimana? Jadi ibu aja sudah cukup capek. Rindu sih dengan my old me. Ada yang langsung bisa menerima peran barunya tanpa bertanya-tanya, itu bagus. Kalau ada yang masih mempertanyakan peran barunya dan masih ragu, ya gapapa juga. Aku sampai sekarang masih kangen dengan identitas lamaku, masih canggung dengan identitas baru. Kadang malah ada perasaan aneh, heran, takjub, kok bisa ya aku jadi ibu.