Menjadi ibu di era social media, peer pressure mungkin lebih berat dibanding sebelum-sebelumnya. Sebabnya, segala hal yang dilakukan keluarga lain langsung terpampang di depan mata. Keinginan untuk membandingkan dengan diri sendiri jadi lebih sering muncul, seringnya malah ga disadari. Fyi, reflek membandingkan diri dengan orang lain adalah perilaku yang “diajarkan” nenek moyang kita jaman prasejarah sebagai metode survival, menurun dan mengendap sedemikian dalam di bawah sadar.
Akupun merasa begitu. Memang menyebalkan dan ga asik, ujungnya jadi ga pede, minder, iri, dsb. Makanya kadang suka males buka socmed tertentu seperti misal instagram, karena melihat para ibu masih bisa melakukan hal-hal yang disukai, rasanya iri sekalih! Apalagi kalau melihat mereka tampil kece, keren, cantik, seksi dan nongkri-nongkri cantik di kafe yang ambience-nya cozy banget. Udah gitu cuma bisa nelen ludah pas liat foto-foto tempat bagus, cakep, adem, pemandangan menyejukkan mata, pikiran dan jiwa. Aku juga pengen gitu tapi banyak pertimbangan yang membuatku memutuskan untuk memprioritaskan Anya. Entahlah ada yang bisa memahami hal ini atau tidak, tapi baca status FB Human Of New York dan komentar-komentarnya, ternyata banyak juga ibu-ibu di Amrik sono yang merasakan seperti yang aku rasakan. Karena itu social media rasanya jadi frenemies, friend sekaligus enemy bagi para ibu. Karena di satu sisi, social media sangat membantu kami para ibu untuk terus update informasi di saat kami terbatas untuk bepergian. Di sisi lain ternyata dapat membuat kami tertekan.
Tapi beberapa hari lalu tiba-tiba punya pikiran lain tentang social media. Sebenarnya social media bisa menjadi teman bagi keluarga dan dimaksimalkan manfaatnya. Hal ini terpikir ketika akhir-akhir ini aku merasa lalu lintas Bandung semakin tidak bersahabat alias makin macet. Rasanya tidak ada hari tanpa macet bahkan di weekdays sekalipun. Apalagi sekarang Bandung punya julukan baru, Kota Banjir. Hujan di Bandung menjadi momok, karena menyisakan banjir dan macet gila. Makin maleeessss pergi keluar.
Belum lagi menghitung biaya yang dikeluarkan setiap keluar. Sungguh tidak cocok untuk gaya hidup hemat dan usaha mengurangi konsumsi (demi bumi yang lebih baik) (yayaya, tidak semua bisa paham alasan ini). Jadi berpikir, social media bisa jadi salah satu solusi. Misalnya nih, silaturahmi dengan saudara bisa digantikan dengan social media. Update kabar terbaru mereka dan stay in touch tanpa harus bermacet-macet. Ngobrol di social media (oh ini lebih menyenangkan bagi para introvert).
Hmmm apalagi ya, manfaatnya?