1

Pengakuan Jujur Seorang Ibu

Kadang aku bete dengan suamiku. Sebagai ibu RT yang nyambi kerjaan di rumah, walau ada asisten tapi Anya aku pegang hampir seharian. Bukannya aku ga suka deket Anya terus, tapi kadang frustrasi juga kalau butuh waktu 2-3 jam tanpa diganggu untuk menyelesaikan pekerjaan. Jangankan satu jam tanpa gangguan, kegiatan seperti makan dan mandi tanpa interupsi sudah mewah sekali. Disitu aku merasa kewalahan.

Oh oh bolehkah jika aku merasa bosan? Entah bosan atau kehabisan ide, ketika lebih dari dua jam berhadapan dengan makhluk mungil yang belum bisa bicara dan konsentrasi masih pendek alias gampang bosan, menonton acara yang sama berulang, bermain permainan yang kurang lebih sama. Pikiran melayang ke pekerjaan yang belum disentuh, aitem online shopping yang kemaren dilihat dan menggoda iman, status kawan-kawan yang bersenang-senang, ART yang butuh disupervisi, dsb.

Berbagai ide cemerlang yang sempat terpikir saat termenung di WC terlupakan. Pikiran kehabisan ide mau apalagi yang bisa membuat anak happy, apalagi ditambah galau dan kesal melihat anak ga mau makan (sementara ada 3 jenis makanan berserakan yang tidak dihabiskan karena ybs bosan/tidak mau).

Karena itu rasanya bete kuadrat saat suami mengolok-olok aku yang melarang Anya, ‘no no no no no!’.
Katanya, “Banyak banget ngelarangnya.”
Kesel kuadrat saat suami meremehkan kebutuhan teman bicara. Dianggapnya serumah dan ngobrol (sekilas-sekilas) sudah lebih dari cukup, apalagi saat weekend katanya seharian ketemu terus.
Sendirinya pengen mencibir suami yang pegang Anya baru satu jam dan udah manggil-manggil istrinya ngapain, kemana, kalo engga penting kok gak megang Anya aja. (Enggak penting di sini seperti memasak, bersih-bersih, ngemil, dsb bukan hal darurat kencing dan pupup).

Silakan judge aku sebagai ibu yang tak bisa bersyukur. Yang tak bisa bahagia dan mengkontrol diri. Butuh teman bicara tapi tak ada dan siapa lagi teman terbaik kecuali seperangkat smartphone yang bisa menjadi tempat menumpahkan uneg-uneg daripada gila dan depresi.

0

A Perfect Weekend

Masih belum bisa move on dari weekend kemaren. Rasanya weekend kemaren lebih menyenangkan dan bener-bener rileks buatku. Padahal sebagai ibu rumah tangga, tidak ada yang berubah dari rutinitas sehari-hari. Maklum, ibu rumah tangga tidak mengenal hari libur. Waktu cuma dibagi berdasar kehadiran ART (yang berarti agak rileks, karena ada yang bantuin) dan tidak ada ART.

Yang berbeda adalah sikap pribadi. Kemaren aku memutuskan untuk bersikap lebih rileks dan “lepas” dari keinginan untuk sebuah kesempurnaan. Iya, sempurna menurutku adalah rumah bersih, barang-barang terletak pada  tempatnya, tidak ada debu dan kotoran di lantai, kusen jendela, furniture dan sebagainya, masakan tersaji lengkap sayuran/serat dan protein.
Tapi pagi itu memutuskan untuk bersikap lebih cuek. Sakit membawa berkah kali ya, karena malam sebelumnya aku kena demam dan semi radang, ga enak banget, sehingga hari Minggu itu kuputuskan untuk benar-benar istirahat. Engga ke pasar, menyajikan menu makan tanpa tekanan dan menyenangkan semua orang (kalo males ya beli atau bikin telor ceplok or indomie), rumah ga usah kinclong-kinclong amat. Malah sorenya aku memutuskan untuk praktek resep walau rumah agak berantakan (yang mana sebenarnya dalam keadaan biasa, aku lebih memilih untuk membereskan rumah dulu sebelum praktek resep, yang kemudian biasanya berakhir ga jadi praktek resep karena sayang berantakin rumah lagi dan nemenin Anya main).

Walau hasil praktek resep bisa dibilang gagal (nyoba bikin terang bulan alias martabak manis dari tepung Pondan) karena ga tercipta sarang lebah (tapi rasanya tetap enak kok, anggap aja pancake raksasa), hati tetap happy.
Selain itu tekanan yang biasanya termanisfest dalam bentuk tegang dan kaku di kepala hingga tengkuk nah kemaren rasanya kepala lebih enteng. Rumah berantakan dan kotor, ya tinggal diberesin.

Tapi kalau ditanya apakah aku akan mempertahankan terus gaya tersebut, mmm rasanya kok engga ya. Walau lebih enteng di kepala, tapi aku kok ga betah liat rumah ga teratur. I just dont like it. Entah apa ini namanya, attachment, kecanduan atau apa. Apakah aku harus melepaskan dan jadi lebih rileks, tapi itu berarti aku harus merubah diriku menjadi sosok yang nyaman di suasana yang berantakan dan kotor, which is bukan aku banget.

Sekali-kali keluar dari kebiasaan memang menyenangkan dan membebaskan tapi kalau terus menjadikan kebiasaan padahal bukan aslinya, apalah lantas jadi membebaskan? I dont know.