Kadang aku bete dengan suamiku. Sebagai ibu RT yang nyambi kerjaan di rumah, walau ada asisten tapi Anya aku pegang hampir seharian. Bukannya aku ga suka deket Anya terus, tapi kadang frustrasi juga kalau butuh waktu 2-3 jam tanpa diganggu untuk menyelesaikan pekerjaan. Jangankan satu jam tanpa gangguan, kegiatan seperti makan dan mandi tanpa interupsi sudah mewah sekali. Disitu aku merasa kewalahan.
Oh oh bolehkah jika aku merasa bosan? Entah bosan atau kehabisan ide, ketika lebih dari dua jam berhadapan dengan makhluk mungil yang belum bisa bicara dan konsentrasi masih pendek alias gampang bosan, menonton acara yang sama berulang, bermain permainan yang kurang lebih sama. Pikiran melayang ke pekerjaan yang belum disentuh, aitem online shopping yang kemaren dilihat dan menggoda iman, status kawan-kawan yang bersenang-senang, ART yang butuh disupervisi, dsb.
Berbagai ide cemerlang yang sempat terpikir saat termenung di WC terlupakan. Pikiran kehabisan ide mau apalagi yang bisa membuat anak happy, apalagi ditambah galau dan kesal melihat anak ga mau makan (sementara ada 3 jenis makanan berserakan yang tidak dihabiskan karena ybs bosan/tidak mau).
Karena itu rasanya bete kuadrat saat suami mengolok-olok aku yang melarang Anya, ‘no no no no no!’.
Katanya, “Banyak banget ngelarangnya.”
Kesel kuadrat saat suami meremehkan kebutuhan teman bicara. Dianggapnya serumah dan ngobrol (sekilas-sekilas) sudah lebih dari cukup, apalagi saat weekend katanya seharian ketemu terus.
Sendirinya pengen mencibir suami yang pegang Anya baru satu jam dan udah manggil-manggil istrinya ngapain, kemana, kalo engga penting kok gak megang Anya aja. (Enggak penting di sini seperti memasak, bersih-bersih, ngemil, dsb bukan hal darurat kencing dan pupup).
Silakan judge aku sebagai ibu yang tak bisa bersyukur. Yang tak bisa bahagia dan mengkontrol diri. Butuh teman bicara tapi tak ada dan siapa lagi teman terbaik kecuali seperangkat smartphone yang bisa menjadi tempat menumpahkan uneg-uneg daripada gila dan depresi.