Hari ini ada demo/mogok buruh. Ga tertarik ngikutin pro kontranya. Sedang sibuk dengan pikiran sendiri sebagai buruh.
Hiks, bagaimana ya. Sebagai ibu rumah tangga, saya selalu didorong suami untuk cari kerja. Katanya lebih ke faktor pride, karena label ibu rumah tangga tu kesannya nganggur banget dan kurang membanggakan. Selain itu untuk nambah kegiatan daripada ngelangut ga jelas. (Seharusnya dari sini sudah terlihat, bagaimana masyarakat memandang label ibu rumah tangga kebanyakan pandangan negatif seperti nganggur, ga banyak kerjaan, kerjaannya nonton gosip di tv dan ngerumpi).
Jadilah saya ibu rumah tangga merangkap buruh (freelance). Jam kerja saya ga banyak, memang sengaja nyari yang begini karena masih harus mengasuh Anya. Selain itu nyari yang bisa dikerjakan di rumah, karena ga bisa ninggal Anya (tidak ada pengasuh yang bisa saya percaya).
Ternyata kerja dari rumah itu enak ga enak. Kalau dari sisi sebagai ibu, enak karena bisa sambil ngawasin anak dan ga galau mikirin bagaimana Anya dihandle orang lain. Ga enaknya dari sisi buruh; kerja nyambi ngasuh anak itu ga maksimal. Dedlen selalu keteteran. Konsentrasi terpecah setiap saat. Paling sulit fokus ketika harus memerah ide sementara anak nangis-nangis. Antara mau nyuekin atau harus ngedatengin. Tapi kalau dideketin, biasanya langsung nemplok dan ga mau lepas.
Setiap anak karakternya beda. Mungkin ada yang berpendapat, “tuh si A kok anaknya bisa ditinggal jadi emaknya bisa ngapa-ngapain. Anaknya gapapa tuh sementara ditinggal keluar, bareng sama pengasuhnya.”
Saya ga perlu njelasin karakter Anya gimana kan ya. Saya cuma kasih gambaran bahwa Anya sangat lengket dengan ibunya dan separation anxiety-nya cukup tinggi. Jadi ga perlu bandingin sama anak-anak orang lain dan nanya kenapa saya ga bisa kayak ibu-ibu lain.
Sebagai buruh yang butuh duit, tentunya saya pengen kerjaan cepet selesai dan perform baik dong biar duitnya tambah banyak. Tapi nyambi-nyambi bikin ga maksimal. Jadi sedih deh, kalau ga bisa perform karena ga bisa maksimal itu tadi. Rasanya ga berharga dan kalah. Iya dong, sebagai buruh kan dihargai dari jumlah duit yang diperoleh. Duit diperoleh dari seberapa perform dirimu. Kalau ga perform, ya ga dapat duit.
Kalau begini jadi suka merenung. Memang dunia kerja (sebenarnya) ga bersahabat/ga berpihak buat wanita terutama ibu dengan anak kecil/bayi. Realistis aja, ketika perempuan menikah dia diharapkan mengandung dan punya anak. Konsekuensinya, ada situasi yang membuatnya tidak bisa kerja yaitu saat melahirkan dan anaknya masih bayi. Bahkan saat hamil pun mungkin ada yang ga bisa maksimal, misal karena fisiknya jadi menurun. Yang pas hamil termasuk kebo alias fisiknya kuat pun dijaga dengan mengurangi kegiatan lapangan yang berat, naik pesawat terutama di minggu-minggu rawan. Perusahaan/HRD pasti mikir kesitu kan.
Cuti hamil/melahirkan adalah hak karyawati dan kewajiban perusahaan. Bisa dapat cuti 3 bulan aja udah anugerah karena ada lho karyawati yang didholimi haknya. Belum kebutuhan nanti pas masuk kerja, yaitu pompa ASI demi kebutuhan si bayi. Butuh saat khusus dan ruang khusus. Dari sisi perusahaan, mikir juga lho kalau ada karyawannya ga masuk 3 bulan dan tetep kasih gaji, gimana caranya agar laju kinerja perusahaan ga terganggu. Terutama buat perusahaan yang belum meraksasa. So realistis banget buat perusahaan kalo mereka pas nyari karyawan, prefer laki-laki. Ga pusing ngatur kalau hamil dsb. Padahal di satu pihak, pihak si ibu, justru setelah menjadi ibu sangat butuh kerjaan karena lebih membutuhkan uang untuk mengongkosi kebutuhan si baby.
Ini mungkin sangat dialami oleh perempuan/ibu dari kalangan menengah ke bawah. Kalau dari kalangan menengah ke atas, ketika kebutuhan bayi sudah cukup dari kepala rumah tangga, mungkin bekerja untuk tambahan aja. Lumayan buat tambah-tambah dana biaya masuk playgroup ntar (yg naujubilah mehelnya).
Karena itulah dari segi perempuan pekerja, adanya susu formula sebenarnya sangat membantu ibu-ibu untuk bekerja menghidupi anaknya. Terutama bagi kalangan menengah bawah. Mungkin aku akan dibully NAZI ASI, ASI garis keras. Tapi coba bayangkan dulu, pahami dulu situasinya. Susu formula memungkinkan ibu-ibu meninggalkan bayinya tanpa kuatir lagi asupan makannya (minumnya). Sekarang sih udah ada pompa ASI (walau yang bagus masih relatif mahal) tapi ga semua tempat menyediakan tempat untuk memompa ASI dan mungkin ga semua bos maklum kalau karyawatinya ijin untuk memompa. Apalagi memaklumi yang bayinya mengalami separation anxiety tinggi plus bau tangan. Ga bisa lepas dari emaknya.
Jadi boro-boro ngikutin pro kontra mogok buruh, sebagai buruh sekaligus ibu udah pusing mikirin dedlen, anak nangis, perform yang makin menurun disela ngasuh anak. Hadeh. Ada ga bos yang berbaik hati mempekerjakan kalangan ibu-ibu macam saya begini dengan pemakluman yang sangat luas? Ga ada kan, gila kalo ada.